Source: http://www.amronbadriza.com/2012/07/cara-membuat-judul-blog-bergerak.html#ixzz2NhtFsA2f

Senin, 18 Maret 2013

kisah ibu

Kisah Ibu Dan Anak

Aisyah memiliki seorang anak gadis yang sangat pintar bernama Sabila. Kini Sabila lulus dari sebuah universitas terkemuka. Aisyah sungguh bangga kepadanya dan selalu berharap Sabila segera pulang ke rumah. Aisyah sangat merindukan Sabila.

Hari kedatangan Sabila tiba. Aisyah menunggunya di depan pintu rumah dengan senyum tulus. Setelah melepas rindu dengan memeluk Sabila, mereka duduk santai di depan rumah.

Aisyah yang beranjak tua, kagum dengan kecerdasan Sabila. Sabila bercerita tentang masa kuliahnya yang menarik. Sebenarnya, Aisyah tidak begitu memahami apa yang diceritakan Sabila.

"Jadi, apa gelar yang sekarang kaumiliki?" tanya Aisyah.

"Sarjana."

Aisyah mengangguk-angguk kemudian mengulangi pertanyaan yang sama.

Sabila menganggap ibunya tidak mendengar jawabannya. Lalu, dia mengatakannya kembali dengan suara lebih keras, "Gelarku sarjana, Ibu!"

Aisyah kembali mengangguk-angguk. Sabila kembali bercerita dengan riang. Tak lama kemudian, sang ibu bertanya lagi.

"Jadi, apa gelar yang sekarang kaumiliki, Anakku?"
Sabila menatap ibunya. "Sarjana, Bu!!"

"Ooh...," kata Aisyah membulatkan mulutnya.
Mereka lalu mengobrol kembali.

"Nah, Anakku, Ibu ingin tahu gelar apa yang kaumiliki sekarang?" tanya Aisyah.
Sabila mendelik ke arah ibunya dan hilang kesabaran, lalu menjawab pertanyaan Aisyah sambil membentak, 
’Ya ampun, Ibu, sarjana!!!"

Sabila marah dan merasa ibunya tidak mengerti apa yang dikatakannya.

"Apa, Nak?"

"Ibu!! Barangkali Ibu memang tidak mengerti apa yang aku katakan, ya? Aku sudah menjawabnya berulang kali dan Ibu tetap bertanya. Apakah Ibu ingin aku kembali mengatakannya? Sarjana! S-a-r-j-a-n-a," kata Sabila dengan marah. Dia merasa obrolannya terus terpotong oleh pertanyaan ibunya.

Aisyah menunduk, lalu beranjak dari duduk dan meninggalkan Sabila. Tak berapa lama, Aisyah kembali dan menggenggam sesuatu di tangannya. Dia lalu menyerahkan benda itu pada Sabila yang masih marah.

"Bacalah, Anakku. Di dalamnya, Ibu menulis tentangmu semasa kecil," kata Aisyah lembut.
Sabila membacanya.

"Setiap hari, Sabila kecilku selalu bertanya tentang apa saja yang dia lihat. Aku bangga padanya.
Suatu kali, dia bertanya tentang suatu benda di depan rumah hingga berkali-kali. Dia terus bertanya hal yang sama, tetapi aku tetap menjawabnya dengan sabar. Bahkan ketika kuhitung dia bertanya lebih dari 30 kali tentang benda itu. Aku menjawab mengenai hal itu dengan penuh kasih sayang dan semoga jawabanku yang akan membawanya menjadi manusia yang penuh dengan ilmu.

Aku berharap, dia akan menjadi anak yang pintar dan kelak jika aku tua, aku bisa bertanya padanya tentang hal yang tidak aku ketahui. Ya, karena ketika dia besar, zaman kami sudah berbeda dan saat itu akulah yang akan belajar pada anakku."

Setelah membaca buku itu, Sabila menatap Aisyah yang menunjukkan wajah sedih.

"Sungguh Anakku, aku tidak menyadari bahwa pertanyaanku akan membuatmu marah, walau Ibu hanya menanyakan hal itu sebanyak 5 kali," kata Aisyah sambil menitikkan air mata.

"Seorang sahabat bertanya, ’Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku,’ Nabi saw. menjawab, "Ibumu... ibumu... ibumu, kemudian ayahmu, dan kemudian yang lebih dekat kepadamu, dan yang lebih dekat kepadamu.’" - Muttafaq.’Alaih


Setelah 23 tahun hilang sang anak pulang ke pelukan Ibunya

Seorang pria Bangladesh dinyatakan hilang 23 tahun silam. Kini, ia berhasil pulang, setelah dikurung 15 tahun di penjara Pakistan.

Moslemuddin Sarkar menghilang sejak tahun 1989. Kemudian pada suatu hari, ia berhasil pulang setelah dikurung 15 tahun di penjara Pakistan. Kepulangan Moslemuddin difasilitasi oleh Komite Internasional Palang Merah.

Ratusan simpatisan berkumpul di desa Bishnurampur, utara distrik Mymensingh, Bangladesh, untuk melihat pertemuan memilukan itu.

"Saya memasuki India secara ilegal pada tahun 1989, tanpa memberitahu keluarga," kata Moslemuddin.

Malangnya, Moslemuddin tertangkap saat berusaha menyeberang ke Pakistan pada tahun 1997. "Saya pergi ke Pakistan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Tapi, mereka menangkap saya di perbatasan. Memukuli dan menyiksa saya di penjara," tukasnya dalam bahasa campuran Urdu dan Bengali.

Moslemuddin menulis puluhan surat kepada keluarganya. Namun, tak ada jawaban sama sekali. Suatu ketika, ia pernah kehilangan semua harapan untuk pulang ke rumah.

Tim Palang Merah memfasilitasi kepulangan Moslemuddin, setelah keluarganya menerima pesan dia dikurung di penjara Pakistan.

Julhas Uddin, adik Moslemuddin, telah mencari saudaranya selama bertahun-tahun. Tetapi, usahanya selalu menemui jalan buntu. Ia dan keluarga lainnya akhirnya menyerah. Namun, ibunya tetap percaya bahwa suatu hari Moslemuddin akan pulang.

Pertemuan ibu dan anak itu sungguh mengharukan. Ia terus memeluk ibunya sambil berderai air mata. Tak disangka, wanita itu malah pingsan di pelukan anaknya. Kesedihan mungkin sudah terlalu lama bergelayut di hatinya. Menanti anak yang tak kunjung pulang.

Moslemuddin bahkan tak berhenti menangis selama berjam-jam. Segala cerita duka sirna begitu saja. Ia senang bisa kembali ke pelukan keluarga tercinta, Kembali kepelukan sang Ibunda tercinta.

dari kisah nyata ini kita bisa memetik hikmah dan pelajaran yang banyak, bahwa betapapun orang-orang di sekitar meragukan keyakinan dan firasat seorang Ibu terhadap anak kandungnya jauh melebihi setiap dugaan dan perkiraan orang-orang, yang tentu amat sangat bebeda dengan keyakinan dan firasat seorang Ibu terhadap anak yang telah dikandungnya, yakinlah firasat seorang Ibu selalu dalam tuntunan ALLAH sang maha pemilik segala kejadian dan seorang Ibu akan senantiasa menerima dengan tangan terbuka dengan seperti apapun keadaan sang anak. sebab cinta dan kerinduan seorang Ibu terhadap anaknya itu begitu tulus dan ikhlas.


dikutip dari merdeka.com dengan sedikit penyesuaian

Sabtu, 16 Maret 2013

Malaikat itu Bernama " IBU "


Perempuan yang Berhati Malaikat itu Bernama Ibu

Dulu.
Aku pernah mendengar suatu kisah bahwa untuk diturunkan ke dunia aku harus berada di suatu tempat yang bernama rahim untuk beberapa waktu yang cukup lama. Aku tak pernah mengerti mengapa untuk turun ke dunia begitu menyusahkan, menyusahkan diriku sendiri dan orang lain.
Sesungguhnya aku tak benar-benar meminta Tuhan untuk menurunkanku ke dunia karena aku sudah berada di sebuah tempat yang banyak orang menginginkannya. Tempat itu mereka sebut surga.

Sebelum aku benar-benar turun ke dunia aku sudah mendengar banyak cerita tentang duniamu. Kudengar duniamu penuh dengan orang-orang jahat, bisa kau bayangkan bagiamana aku bisa bertahan hidup di duniamu.
Dan ketika aku benar-benar turun ke dunia, kau pasti tahu apa yang kulakukan pertama kali, aku menangis. Aku menangis, sebagai wujud penolakanku turun ke duniamu, karena aku takut dengan duniamu. Tapi baru sejenak aku menangis ada seorang perempuan yang segera memelukku, menghangatkan tubuh kecilku yang lemah, pelan-pelan menenangkanku, dan samar-samar kulihat sebuah senyuman yang sangat bahagia dari perempuan itu, meskipun kulihat ia nampak kelelahan dengan keringat yang masih bercucuran di dahinya.
Selanjutnya perempuan yang tersenyum bahagia itu merawatku, entah siapa dia, aku belum mengenalnya. Dulu di surga aku biasa bernyanyi dan tertawa, tapi diduniamu yang masih kutakutkan ini, yang bisa kulakukan hanya menangis, dan menangis. Dan ketika aku menangis, perempuan itulah yang selalu senantiasa menenangkanku, bernyanyi untukku setiap hari, setiap waktu ketika aku menangis. Maafkan aku karena aku selalu menyusahkan, perempuan itu yang senantiasa merawatku dengan tulus, dengan kasih sayang yang hangat sehingga aku merasa tak takut lagi berada di duniamu.
Suatu hari aku ingin mengenal perempuan itu, yang membuatku bahagia, yang selalu melindungiku walaupun hal tersebut mengancam hidupnya. Tapi aku tak pernah mengerti bahasanya. Aku berulangkali mencoba berbicara dengannya, tapi yang keluar hanyalah sebuah tangis, atau tawa.
.
Kini.
Aku sudah tumbuh besar, perempuan itu merawat dan membesarkanku. Mengajariku berbicara bahasanya, berjalan, dan berlari. Ya, aku sangat senang sekali berlari. Walaupun terkadang aku masih menangis ketika terjatuh, tapi perempuan itu masih seperti dahulu, ia tak pernah bisa tahan melihatku menangis, ia selalu menenangkanku.
Kau tahu, aku menyukai perempuan itu. Aku menyukai cara ia tersenyum kepadaku, cara ia bernyanyi untukku, cara ia memelukku, dan banyak cara yang ia lakukan untuk membuatku bahagia di dunia ini. Aku  tahu, perempuan itu mencintaiku melebihi ia mencintai dirinya sendiri.
Suatu hari kudengar surga, tempatku berasal, berada di bawah telapak kakinya, dan aku mencoba menanyakannya kepada perempuan itu. Perempuan itu menggenggam tanganku, meletakkan telapak tanganku di dadaku kemudian tersenyum kepadaku. Perempuan itu bercerita kepadaku bahwa surgaku berada di dalam hatiku dan hanya Tuhan yang tahu. Lalu perempuan itu dengan sabar dan hati-hati mengajariku bagaimana cara bedoa, bagaimana cara aku berbicara dengan Tuhan, hal yang sangat aku rindukan sejak Tuhan menurunkan aku ke duniamu.
Aku sangat berterima kasih kepada perempuan yang tak kukenal itu, perempuan yang berhati malaikat itu, perempuan yang telah membesarkan dan mengajari banyak hal kepadaku dengan kesabaran dan kasih sayangnya yang tulus. Perempuan yang aku tak tahu bagaimana cara aku membalas semua kebaikannya. Perempuan yang lebih mencintaiku daripada mencintai dirinya sendiri.
Dan pada akhirnya aku mengenal perempuan itu.
Perempuan yang berhati malaikat itu bernama Ibu.